Selasa, 06 Desember 2011

CERPEN II Buku-Buku Bercerita

Oleh : Lilian (Ikom B)
Dahulu aku tidak begitu disukai orang-orang karena tampilanku yang kampungan dan jelek. Perwujudanku baku dan biasa saja. Tidak menarik sama sekali. Mereka memandangku sebelah mata, menyamakanku sekelas dengan museum atau tempat-tempat tua yang tidak diminati kebanyakan orang. Aku kalah dengan gedung-gedung mewah pusat perbelanjaan. Mereka – sebagian besar penerus bangsa telah mengabaianku dan berganti alih kepada alat-alat digital yang mampu memuaskan segala keingintahuan mereka. Padahal aku tahu, teknologi baru itu tidak selengkap dan sesempurna aku. Eniklopedia sebenarnya, tidak berbelit dan tidak membingungkan. Aku akui, aku begitu jelek dan pengap. Sekali orang mengunjungiku mereka langsung disuguhi oleh bau ngengat dan kapur barus. Buku-buku tua dan berdebu. Tata letak konvensional tanpa memperhatikan desain ruang – bagaimana agar dapat menarik para pengunjung. Hanya tatanan meja-meja berbilik dan kursi yang berbaris menyamping atau mundur ke belakang.

Hingga suatu malam, usai semua pengunjung dan penjaga pulang, aku mendengar rintihan sedih dan cakap-cakap bernada muram dari beberapa buku tua yang berjejer di rak-rak. Ada diantara mereka yang menggerutu dan mengadu.

“Sebenarnya, apa salah kita? Mereka tidak mau lagi menyentuh dan membaca kita. Apa karena isi-isi yang tekandung di dalam diri kita terlalu berat dan memberatkan otak mereka?” salah satu buku tebal berisi Ilmu Pengetahuan Alam menggerutu.

“Dilihat dari luar saja tampilanmu tidak menarik! Sampul gelap, kertas buram dan bau pengap. Lihat aku! Mereka lebih menyukaiku karena aku lebih menarik, sampulku berwarna-warni dan terdapat ilustrasi dari isinya. Ditambah lagi, isiku lebih ringan dan mampu membuat mereka tertawa. Tidak seperti dirimu! Jawab buku komik Sinchan sambil memandangi buku tebal dengan pandangan sinis.

Hari kian larut, menjelang tengah malam. Aku masih belum juga bisa beristirahat karena kegaduhan mereka belum juga reda. Kulanjutkan saja mendengar perbincangan sekumpulan buku itu.

Buku teenlit tidak mau kalah, ia pun turut angkat bicara.

“Kamu jangan berbangga diri dulu! Diantara penghuni perpustakaan ini, aku yakin, akulah yang paling diminati. Mereka sering memperebutkanku, bahkan tak sabar menunggu antrian pengunjung lain agar bisa meminjam dan membacaku. Hahahaha… akulah sang primadona yang merajai perpustakaan ini.”

Begitu khidmat aku mendengarkan perbincangan mereka. Meski sedikit mengantuk, ada saat aku dibangunkan kembali oleh celoteh riuh mereka.

Aku menjadi tambah tertarik ketika mendengar obrolan mereka tidak lagi mengenai membanggakan diri dan menonjolkan kelebihan mereka. Nampaknya, perbincangan ini kian serius dan tidak ada habisnya. Mungkin sampai pagi. Sampai mereka lelah dan tertidur dimana saja.

“Hei, apa kalian tidak menyadari? Hari bertambah hari pamor kalian berkurang. Para pengunjung satu-peratu mulai enggan mengnjungi tempat ini. Mereka telah dialihkan oleh hiburan dan tempat baru yang lebih asyik. Akulah yang mencatat perjalanan hidup kalian dan perpustakaan ini. Aku tahu persis perkembangan kalian dan tempat ini. Apa kalian tidak menyadari?” tiba-tiba jam dinding angkat bicara dan mengluarkan pendapatnya.

Seketika, semua penghuni perpustakaan yang masih terjaga saling berpandangan – menunjukkan reaksi terkejut dan gusar. Mereka baru menyadari perubahan ini setelah diingatkan oleh perkataan jam dinding. Suara riuh dan bisik-bisik tidak dapat terhindarkan lagi.

“Benarkah? Lalu apa yang harus kita lakukan? Tempat apa itu? Hiburan apakah itu? Aku ingin tahu.” buku mini kumpulan puisi pun penasaran, ia menonjolkan dirinya, melonjak-lonjak agar bisa melihat jam dinding dan berharap suara kecil dan cemprengnya yang khas bisa didengar olehnya.

Kemudian, jam dinding menjulurkan kepalanya ke depan, bola matanya bergerak-gerak untuk mencari suara kecil itu. Dan ditemukanlah sesosok buku mungil berdiri dan siap mendengarkan jawabannya. Setelah menemukan – siapa yang berbicara lalu ia menjawab dengan suara cukup keras agar bisa di dengar oleh seluruh penghuni ruangan.

“Tentu saja.” tangannya bersidekap dan ia melanjutkan perkataannya. “Mereka adalah teknologi visual berbasis pengetahuan dan hiburan. Semua bisa dilihat dan didapat dari benda berbentuk kotak itu. Benda itu bernama komputer, laptop, netbook dan beberapa macam lainnya yang memiliki fungsi hampir sama dengan mereka. Satu lagi yang membuat mereka semakin canggih dan menarik adalah ketika mereka telah dipasangi oleh jaringan internet.”

“Internet?” serentak para buku mengucapkan kata itu, kata yang masih terdengar asing di kalangan mereka.

“Ya! Internet.” jam dinding menekankan kata itu sekali lagi sambil menggoyangkan jari telunjuknya – membuat semua dari mereka kian penasaran. “ Dari internet mereka bisa melihat apapun yang ingin mereka lihat dan membaca apapun yang hendak mereka baca. Dengan internet kita bisa menjelajahi dunia. Ia juga bisa menyuguhkan gambar yang bisa bergerak. Tidak seperti kalian, mirip benda mati!”

“Tapi kita kan memang benda mati…” sela buku biografi Einstein menyadari kodrat dirinya.

“Memang. Maksudku, meskipun kita benda mati tetapi kita tidak boleh pasrah dianggap mati begitu saja. Boleh orang mengatakan kita benda mati, tetapi kenyataannya isi yang terkandung dalam diri kita bisa menghidupkan semangat banyak orang dan menggugah pikiran mereka. Oya, tempat menarik tadi adalah pusat perbelanjaan dan mereka biasa menyebutnya “mall.”

“Betul, betul, betul!” buku kumpulan cerpen membetulkan (mengikuti gaya suara upin-ipin).

“ Tapi, apa yang harus kita lakukan agar mereka tertarik untuk membaca kita lagi?” sela salah satu buku yang nampak kusut dan kelelahan, ia hampir putus asa.

Suasana menjadi hening. Semua menunggu jawaban, menunggu solusi – apakah berasal dari jam dinding, atau dari peserta lain. Semua berpikir untuk mencari pemecahan masalah berkurangnya pengunjung perpustakaan. Semua penghuni disini - termasuk aku menganut sistem demokrasi dan musyawarah. Semua bebas bicara dan beraspirasi. Entah itu buku buruk rupa ataupun majalah nan cantik jelita yang tertata di pinggir meja sana. Siapa saja boleh bicara.

Tak terkecuali aku. Meskipun sedari tadi aku diam, tetapi sebenarnya aku mendengarkan semua yang mereka bahas dan perbincangkan. Jika itu baik dan merupakan hasil dari setiap kesepakatan, aku akan berusaha membantu semampuku.

“Nah!” jam dinding berbicara dan mengagetkan mereka. Setiap pasang mata tertuju padanya. “Aku punya usul, bagaimana kalau kita melakukan protes kecil-kecilan? Agar perpustakaan tempat tinggal kita ini dibenahi dan direnovasi kembali. Aku berpikir, seharusnya kita juga mengikuti perkembangan zaman dan keinginan pasar atau pengunjung. Tidak hanya begini-begini saja, berdebu, pengap dan berbau kapur barus. Dilihat saja sudah membuat orang tidak nyaman dan membuat mereka enggan kembali lagi. Aku ingin semuanya dibenahi dan dibangun kembali. Baik itu bagian depan, halaman, penataan rak, kursi meja juga kalian…”

“Kami?” mereka – para buku itu menunjuk dirinya masing-masing.

“Ya! Kalian! Kalian harus nampak bersih, harus ditata serapi dan semenarik mungkin. Juga tidak hanya meja kursi saja yang menemani kalian. Seharusnya mereka mementingkan kenyamanan pengunjung. Bisa ditambah kantin dan tempat air minum, progam pemasangan wi-fi, dan kupikir akan lebih menarik jika ditambah ruang khusus tempat baca anak. Wow, pasti menyenangkan dan mereka akan betah berlama-lama di perpustakaan ini.”

Jam dinding menjelaskan ide-denya dengan penuh semangat dan menggebu.

“Hmmm…lalu, selanjutnya kita harus bagaimana?” sebagian dari mereka melontarkan pertanyaan serupa.

Jam dinding berpikir sejenak sebelum memutuskan sesuatu.

“Kalian harus bergerak dan aku yang akan menjadi komandonya. Apapun yang aku perintahkan kalian harus melaksanakan, demi kelancaran tujuan kita. Paham?”

“Paham!” jawab mereka serentak.

Secara tidak langsung mereka telah mengangkat jam dinding sebagai pemimpin mereka.

Dengan air muka serius jam dinding mulai membicarakan rencana dan aksi-aksi apa yang hendak mereka lakukan. Ia memerintahkan seluruh dari mereka untuk keluar dari rak dan menyuruh mereka tergeletak sembarangan. Jadilah perpustakaan itu menjadi semrawut dan berantakan. Salah satu aksi pendukung protes selanjutnya. Setelah itu ia menunjuk satu buku berjudul “Bagaimana Membangun Perpustakaan Kreatif, Edukatif dan Atraktif?” untuk maju ke garda depan – menyuruhnya terlentang di depan pintu utama dan membuka salah satu halaman yang menjelaskan bagaimana membangun perpustakaan yang sarat nilai-nilai pendidikan dan menarik bagi semua kalangan.

“Siap!” jawab buku berjudul “Bagaimana Membangun Perpustakaan Kreatif, Edukatif dan Atraktif? dengan tegas.

Ia berjalan dengan gagah berani menuju depan pintu utama. Ia menjalaninya tanpa ragu-ragu dan penuh semangat. Mungkin karena baru kali ini – setelah sekian lama tidak dipedulikan dan dibaca ia merasa berharga dan sangat dibutuhkan.

Melihat dan mendengar betapa antusiasnya mereka, aku ikut larut dan tersentuh. Ada sebuah suara yang berteriak di dalam diriku – mendorongku agar turut serta membantu.

“Kamu haru ikut lakukan sesuatu! Kamu harus ikut lakukan sesuatu!” bisiknya berulang kali – entah berasal dari mana suara itu. Mungkin berasal dari hati kecilku sendiri.

Sementara, mereka tengah sibuk di dalam sana – berusaha keras berjuang demi sebuah perubahan yang mereka impikan. Aku bersiap-siap membantu. Aku telah bertekad dan aku rela jika harus mengorbankan driku sendiri asalkan nantinya bebuah manis. Ketika mereka sedang giat-giatnya, tiba-tiba…

BRUKK!

Aku menggeliat dan menjatuhkan diriku – menjadi runtuh dan berkeping. Detik-detik menjelang hembusan nafas terakhirku, samar-amar aku masih bisa mendengar suara jerit panik mereka.

“Ada apa ini? Ada apa ini?”

Jerit terakhir yang membuat tempat itu hening setelahnya. Sebagian besar buku-buku tertimbun oleh bangunan perpustakaan lama itu.

Keesokan harinya, petugas perpustakaan pertama yang datang dikejutkan oleh fenomena yang terpampang jelas di depan matanya. Merasa dirinya berada di alam bawah sadar – ia memukul dirinya sendiri untuk memastikan apakah benar sesuatu yang dilihatnya benar-benar nyata. Setelah yakin, ia menjadi murung dan bersedih. Melihat sebagian semangat hidupnya runtuh dan tak bersisa.

Semua buku tertimbun kecuali satu buku yang masih tegar berada di depan pintu utama. Ia mendekati satu-satunya buku yang terlihat dan tersisa. Perlahan ia berjongkok mengambil buku itu dan membacanya. Beberapa saat setelah membaca, lama-lama kesedihannya memudar dan tergantikan oleh sebuah ide yang cemerlang.

“Aku tahu!” pikirannya berteriak, bersorak merayakan ide baru tentang nasib selanjutnya perpustakaan runtuh itu.”
Agt’ 11

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls